Perang
Jagaraga di Bali
A. Latar Belakang
Perang Jagaraga berawal ketika
Belanda kerajaan di Bali bersengketa tentang hak tawan karang. Hak tawan
karang berisi bahwa setiap kapal yang kandas di perairan Bali merupakan hak
penguasa di daerah tersebut. Pada tahun 1841 hak ini diberlakukan atas
kapal Belanda. Pemerintahan Belanda memprotes Raja Buleleng yang menyita dua
kapal milik Belanda.
Jatuhnya pusat kerajaan
Buleleng ke tangan Belanda pada tanggal 28 Juni 1846, belumlah berarti semangat
dan jiwa kepahlawanan raja dan rakyat Buleleng telah memudar. Bersamaan dengan
jatuhnya pusat kerajaan Buleleng ke tangan Belanda, hal ini telah menyebabkan
laskar Buleleng terdesak, dan atas desakan Patih Jelantik raja Buleleng telah
mengambil keputusan untuk mengundurkan pasukannya ke Buleleng Timur memasuki
desa Jagaraga serta menetapkan untuk menggunakan Jagaraga sebagai benteng
konsolidasi kekuatan dan sebagai ibukota kerajaan yang baru.
Ada beberapa alternatif yang
telah mendesak Patih Jelantik untuk mengambil keputusan. Alternatif itu antara
lain : Jelantik menyadari bahwa, konsolidasi persenjataan pasukannya tidak
seimbang dengan kekuatan persenjataan Belanda, sehingga akan sia-sia
melanjutkan pertempurannya. Untuk menghindari hal inilah akhirnya Patih
Jelantik memerintahkan kepada sisa-sisa laskar dan rakyat yang masih setia
terhadapnya untuk mengundurkan diri ke desa Jagaraga.
Sebab pokok yang menjadi dasar
persengketaan Buleleng dengan Belanda adalah : karena raja Buleleng tidak
pernah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Rakyat
Buleleng dengan terang-terangan telah menggagalkan pembangunan benteng di
Pabean.
B. Proses terjadinya/Jalannya Perlawanan
Belanda melakukan serangan terhadap kerajaan Buleleng pada tahun 1846. Pada
serangan tersebut Belanda berhasil menguasai kerajaan Buleleng, sementara Raja
Buleleng menyingkir ke Jagaraga dibantu oleh Kerajaan Karangasem. Pada tanggal
8 Juni 1848, Belanda mulai mengadakan serangan terhadap daerah Jagaraga dengan
menghujankan tembakan-tembakan meriam dari pantai Sangsit. Bagi Belanda pantai
Sangsit harus dikuasai dan dipertahankan sebab Sangsit merupakan salah satu
pantai yang masih bisa digunakan sebagai penghubung antara Bali dengan Batavia.
Disamping itu penduduk Sangsit dengan mudah dapat dibina agar membantu
pemerintah Belanda. Dalam ekspedisi Belanda yang kedua ini, Belanda telah
mempersiapkan pasukannya secara matang. Dalam ekspedisi ini, pasukan militer
Belanda diangkut oleh kapal-kapal perang sebanyak 22 buah seperti : kapal
perang Merapi, Agro, Etna, Hekla, Anna, A.R. Falck, Ambonia dan Galen dan
sebagainya. Masing-masing kapal perang itu dilengkapi dengan persenjataan yang
berupa meriam dan persenjataan lainnya.
Kekalahan Belanda dalam
ekspedisinya yang pertama ke Bali benar-benar di luar dugaan, Belanda menjadi
marah dengan diundurkannya serangan balasan pada tahun 1848. Seorang perwira
Belanda bernama Rochussen menulis kepada Jenderal Van der Wijck, bahwa jika ia
diharuskan menjabat terus pangkatnya yang sekarang, ia tidak mau beristirahat
sebelum dapat memusnahkan Jagaraga.
Dengan gugurnya Patih Jelantik
maka berhenti pulalah perlawanan Jagaraga terhadap pasukan Belanda. Dalam
serangan ini, dengan mengadakan pertempuran selama sehari, Belanda telah
berhasil memukul hancur pusat pertahanan dari laskar Jagaraga, sehingga secara
politis benteng Jagaraga secara keseluruhan telah jatuh ke tangan pemerintah
Kolonial Belanda pada tanggal 19 April 1849, dengan jumlah korban di pihak
Jagaraga kurang lebih sekitar 2200 orang, termasuk 38 orang pedanda dan
pemangku, lebih 80 orang Gusti, serta 83 pemekel, sedang di pihak Belanda
menderita korban sebanyak kurang lebih 264 orang serdadu bawahan maupun tingkat
yang lebih tinggi. Dua kerajaan Bali, Gianyar, dan Klungkung menjadi sasaran
Belanda. Pada tahun 1906 seluruh kerajaan di Bali jatuh ke pihak Belanda
setelah rakyat melakukan perang habis-habisan yang dikenal dengan nama perang
Puputan.
C. Peran tokoh yang terlibat dalam perlawanan
Raja Buleleng = raja/pemimpin di kerajaan Buleleng
Raja Karangasem = membantu Raja Buleleng dalam
berperang
D. Akhir peperangan
Pada tahun 1906 seluruh
kerajaan di Bali jatuh ke pihak Belanda setelah rakyat melakukan perang
habis-habisan yang dikenal dengan nama perang Puputan.
Komentar
Posting Komentar